- Zinedine Zidane Dihadirkan di PON XIX Jabar, Ini Alasan PB PON
- Hadapi PON 2016, Cabor Beregu DIY Kewalahan Kumpulkan Data
- Jabar Menganggarkan Rp. 800 Miliar
- Stadion Wibawa Mukti Alternatif Home Base Persib
- Temuan Khasiat Dan Manfaat Daun Sirsak Yang Sangat Menguntungkan
- Ir. H. Djuanda Kartawidjaja
- KH. Abdul Halim
- Gatot Mangkoepradja
- Prof. Mr. Iwa Kusuma Sumantri
- R. Otto Iskandardinata
“Bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai pahlawannya..” Bukan orang Bekasi namanya kalau
tak mengenal Sosok Pejuang sekaligus Ulama KH. Noer Alie, Ikon Perjuangan di
Tanah Bekasi dan menjadi kebanggaan masyarakanya.. Kembali ke KH. Noer Ali,
selain berjuang melawan penjajah beliau juga memiliki pesantren At- Taqwa yang
berpusat di Kampung Ujung Harapan (dulu bernama Ujung malang). Kini pesantren
tersebut sudah memiliki lebih dari 50 Cabang. Cerita perjuangan beliau begitu
banyak yang saya dapatkan baik dari para orang tua maupun guru. Ia selalu bisa
lolos/menghilang ketika ditangkap belanda (mungkin karena itu kali ya dia
berjuluk si belut putih) Beliau juga sangat terkenal di mata masyarakat non muslim
karena sikap tolerannya, hal itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi
masyarakat tiong hoa yang non Muslim dari penjajah Belanda. Alhamdulillah pada
9 November 2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra
Adipradana. Berikut sekilas dari biografinya KH. Noer Alie “Singa
Karawang-Bekasi” Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir
tahun 1914 di Kp.Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan
Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H.
Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin.
Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk
menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan
ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun
(1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah. Saat di Mekah, semangat kebangsaannya
tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa
Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa
diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun
para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya
yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar
Betawi di Mekah (1937). Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan
pesantren di Ujungmalang. Ketika
Indonesia
merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa
di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam
mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya
menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam
pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali
sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya
muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap
Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di
Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa
Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat
Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda
menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede
untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di
pepohonan. Tentara Belanda (NICA)
melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah
kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan
Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan
karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat
Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan
semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan
pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi,
berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara
gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga
yang menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai
kiai yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat
mental anak buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang
anak buahnya ini tidak taat. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H.
Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian
Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia
hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi
satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda
menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai
terjadinya Perjanjian Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri
Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu
delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan
kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan
ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang
kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan
Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam
mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik. Pemikiran
Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai
sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang
lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta.
Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan
selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di
Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa. Di lapangan politik,
peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia
menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun
1950, Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia
diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota
Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim
Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang
kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat. Tahun 1971-1975 menjadi
Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja
Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia
bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para kiai
Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap baik
